Fakta Bekasi, CIKARANG PUSAT – Kontribusi/potongan bonus atlet National Paralympic Committer Indonesia (NPCI) Kabupaten Bekasi dari Pemkab Bekasi dan Pemprov Jabar pada bonus Peparda, ditanggapi ustadz dan ulama. Pemotongan hak atlet yang didasari paksaan dan ketidakadilan, menciderai rasa kemanusian.
Pendakwah asal Kabupaten Bekasi Ustadz Nawawi Al Aksi mengungkapkan, dalam pandangan agama dan nilai sosial, setiap hak adalah amanah. Hak atlet adalah bentuk penghargaan atas perjuangan mereka. Maka, tidak selayaknya ada pemotongan tanpa dasar yang adil dan disepakati. Organisasi harus menjadi pelindung dan pemberi ruang tumbuh, bukan sebaliknya.
“Hak yang diperoleh atlet disabilitas adalah hasil dari perjuangan luar biasa dalam keterbatasan. Memotongnya demi kepentingan organisasi tanpa persetujuan yang adil, itu tidak sejalan dengan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan amanah yang seharusnya dijunjung bersama,” terang Ketua KNPI Kabupaten Bekasi ini.
Ditambahkan, bahwa hak atlet terlebih disabilitas, adalah bentuk penghargaan yang wajib dijaga. Pemotongan tanpa persetujuan yang adil bukan hanya melukai rasa keadilan, tapi juga mencederai nilai kemanusiaan.
“Tidak boleh secara agama memotong hak seseorang tanpa izin atau kesepakatan yang adil. Jika pun ada pemotongan untuk kepentingan tertentu, maka harus melalui musyawarah dan atas dasar kerelaan, bukan paksaan,” papar ustadz Nawawi.
Pendeta Dr. Indri Jatmoko menjelaskan, secara Agama (kristen khususnya)
Dalam iman Kristen, setiap manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:27). Ini berarti setiap manusia memiliki martabat yang sama di hadapan Tuhan, tanpa memandang kemampuan fisik, status sosial, atau latar belakang.
“Potongan hak atlet disabilitas atau difabel jika terjadi tanpa alasan yang adil, bisa dianggap melanggar prinsip kasih dan keadilan Tuhan. Yesus sendiri menunjukkan perhatian besar kepada mereka yang “dipinggirkan” oleh masyarakat, termasuk orang sakit, miskin, dan difabel (lihat Markus 2:1-12; Yohanes 9). Maka, memperlakukan atlet disabilitas dengan tidak adil bertentangan dengan teladan kasih Kristus,”paparnya.
Dari segi sosial, kata Dosen Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini, atlet disabilitas telah berjuang luar biasa untuk mengharumkan nama daerah bahkan seringkali dengan keterbatasan fasilitas. Jika hak atlet, terutama yang berkaitan dengan finansial atau penghargaan dipotong, itu bisa dianggap diskriminasi struktural.
“Pandangan seorang pemuka agama (kristen) umumnya akan menyerukan keadilan sosial, semua orang, termasuk penyandang disabilitas, berhak atas perlakuan dan penghargaan yang setara. Etika kasih dan penghargaan, memberikan penghargaan bukan hanya soal uang, tapi soal martabat manusia,” ucapnya.
Sebelumnya, kontribusi bonus atlet Peparnas 2024 National Paralympic Committee Indonesia (NPCI) Kabupaten Bekasi kembali bikin berisik internal maupun eksternal. Para atlet disabilitas peraih medali Peparnas 2024 diwajibkan memberikan kontribusi kepada NPCI sebesar 15 persen (bonus kabupaten) dan 10 persen (bonus provinsi). Total yang dikumpulkan dari kontribusi atlet sebesar Rp1,49 miliar. NPCI Kabupaten Bekasi menarik dana pada 20 Februari 2025 sebesar Rp1 miliar.
Kegaduhan bukan hanya besaran kontribusi atlet, tetapi juga pemberian apresiasi kepada pengurus dan pendamping. Diduga karena pemberian apresiasi tidak sesuai, para pengurus berisik meminta hak apresiasi sesuai dengan kinerja. NPCI Kabupaten Bekasi menggelontorkan Rp1 miliar untuk dibagi-bagi, namun distribusi apresiasi tidak berjalan lancar. (***)