Fakta Bekasi, KARANGBAHAGIA–Wantimpres Pokja Toleransi, Irjen Pol. Drs. Romo Sidarto Danusubroto, bangsa Indonesia harus bangga dan bersyukur karena Tuhan mempercayakan Indonesia sebagai wadah dari super-keberagaman manusia, baik bahasa, etnis, budaya, bahkan agama. Tinggal bagaimana bisa membuktikan kepada Tuhan bahwa titipan keberagaman seperti ini mampu dijaga dan rawat dalam bingkai NKRI.
“Perbedaan yang ada ini tak perlu dilebur menjadi satu, tak boleh ada pemaksaan terhadap pihak-pihak yang berbeda untuk menjadi satu dalam keseragaman karena bangsa ini terbentuk dari keanekaragaman warna kebhinnekaan. Sebagai bangsa yang besar, justru inilah modal dasar yang tak ternilai,” kata dia.
Masyarakat Indonesia yang majemuk dengan dinamika sosialnya tersebut dapat menjadi energi sosial yang konstruktif, yang apabila dipererat dengan nilai persatuan akan menjadi kekuatan.
Selama ini, lanjut Sidarto, orang seringkali lupa bahwa negara ini dapat bertahan selama 73 tahun karena pendiri bangsa secara bijak menyepakati Pancasila sebagai dasar negara, yaitu negara kebangsaan, negara berketuhanan, negara yang pro-keberagaman.
Baca juga: GP Ansor Kab. Bekasi Gelar Silaturahmi Tokoh Lintas Agama
“Banyak contoh dilain negara yang berdasarkan agama rawan mengalami konflik horizontal maupun konflik vertikal. Banyak negara-negara di Timur Tengah yang sekarang mengalami konflik ingin belajar dari Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam namun tetap compatible dengan sistem demokrasi,” jelas Sidarto.
Indonesia, sambung Sidarto, punya Pancasila sebagai dasar negara. Bangsa ini memerlukan panduan hidup untuk mengenal dan meyakini keberadaan Tuhan. Dengan mengenali dan meyakini keberadaan Tuhan, kehidupan bangsa ini diharapkan tumbuh mengikuti sifat-sifat ketuhanan yang penuh kasih sayang, berlandaskan kecerdasan spiritual.
“Pancasila merupakan norma dasar kita bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta pedoman satu-satunya dalam mendesain, menjalankan, dan mengelola secara berkesinambungan,” terangnya.
Saat ini, isu ekstrimisme dan radikalisme kian mengkhawatirkan. Hoax dan ujaran kebencian memenuhi media sosial yang berisi himbauan bernada provokasi dan hasutan berbasis SARA, yang dapat menimbulkan macam-macam potensi kegentingan, terutama kegentingan dalam kerukunan antar umat beragama di republik yang tegak di atas falsafah Bhinneka Tunggal Ika ini.
INTOLERANSI
Intoleransi memang tidak serta-merta agresif dan merusak, mulai dari mempersoalkan pengucapan hari raya bagi yang tidak seiman, pemilihan ketua RT yang harus dari agama tertentu dan hal-hal kecil yang mungkin kita anggap remeh lainnya. Namun perlu dicatat bahwa intoleransi adalah hulu dari radikalisme yang dapat berpotensi menjadi terorisme.
Intoleransi adalah bahaya laten yang bisa sewaktu-waktu meledak apabila tidak ditangani serius sejak awal. Situasi semacam ini tentunya sangat berbahaya dan harus kita waspadai bersama,”
Agama harus mampu memberikan nilai luhur kepada negara, dan negara melindungi agama baik mayoritas maupun minoritas. Diperlukan adanya kesepakatan dan konsep yang matang dalam membina keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia untuk menghindari gesekan-gesekan dalam masyarakat.
Pancasila sebagai living ideology dan working ideology harus terus dinyalakan kembali semangatnya. Perlu pendekatan secara kultural maupun edukatif untuk terus membangkitkan dan membumikan kembali Pancasila terutama kepada generasi muda. (mot)