Fakta Bekasi, CIKARANG PUSAT–Dalam perspektif teori penanggulangan pidana, terdapat dua upaya penanggulangan tindak pidana yakni melalui upaya represif yakni penindakan terhadap pelaku tawuran serta preventif yakni peningkatan kesadaran hukum masyarakat terutama remaja untuk menghindari perbuatan tawuran. Adapun, upaya penegakan hukum terhadap pelaku tawuran antar pelajar di wilayah hukum Kabuapten Bekasi dilakukan melalui beberapa tahapan diantaranya.
Pertama, tahap formulasi yaitu pengaturan terhadap aksi tawuran diatur dalam Pasal 170 dan Pasal 351 KUH. Pidana serta apabila pelaku masih dalam kategori usia anak maka diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 7 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Kedua, tahap aplikasi yaitu pada tahap aplikasi yang dilakukan oleh aparat penegakan hukum dilakukan melalui upaya penal serta upaya non-penal. Upaya penegakan hukum terhadap para pelaku tawuran antar pelajar diwilayah hukum Kabupaten Bekasi yaitu melalui upaya Non-Penal dengan pengupayaan Restorative Justice berupa Mediasi kepada siswa serta pihak sekolah yang terlibat dalam tawuran.
Ketiga, tahap eksekusi yaitu sebagai bentuk pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku tawuran antar pelajar, dilakukanlah upaya mediasi penal yang melibatkan pihak sekolah dan siswa yang terlibat dalam aksi tawuran tersebut.
Faktor-faktor penghambat dalam upaya penegakan hukum terhadap pelaku tawuran antar pelajar di wilayah hukum Kabupaten Bekasi yakni sarana atau fasilitas yang terbatas, dalam hal ini sarana dan fasilitas dilingkungan sekolah serta sarana dalam lingkungan keluarga, dan fasilitas yang tidak memadai terkait Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).
“Masyarakat seharusnya dapat ikut serta dan berperan aktif dalam upaya pencegahan, maupun dalam bersikap yang tanggap dengan melapor ke pihak Kepolisian apabila melihat kejadian tawuran,” kata, Kasi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi Shandy Handika, Kamis (4/7/2019).
Masih kata Sandi, Kebudayaan merupakan faktor penghambat dimana tawuran sudah menjadi tradisi yang terjadi di kalangan pelajar. Sikap masyarakat yang individualis atau acuh terhadap kejadian di sekitar mereka serta tidak melapor apabila terjadi tindak tawuran antar pelajar menjadi faktor utama penghambat dalam upaya penegakan hukum terhadap pelaku tawuran antar pelajar.
Aparat Pemerintah hendaknya membuat peraturan khusus yang mengatur tentang aksi tawuran, serta aparat penegak hukum dalam melaksanakan upaya penegakan hukum terhadap pelaku tawuran antar pelajar hendaknya sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.
“Aparat penegak hukum, keluarga, sekolah dan masyarakat hendaknya menjalin kerjasama dan koordinasi yang baik, sehingga penegakan hukum dapat berjalan dengan baik dan menimimalisir aksi tawuran antar pelajar. Dalam lingkungan keluarga dapat melakukan proses sosialisasi kepada anak agar dapat mengontrol kegiatan anak didalam maupun di luar rumah, sedangkan pihak sekolah seharusnya lebih mengoptimalkan perannya dalam membimbing para siswanya, dengan cara memperbanyak kegiatan ekstrakurikuler,” kata dia.
Selain itu, lanjut Sandi sekolah dapat menerapkan sistem scoresing (merumahkan) pelajar yang kedapatan melakukan tawuran, sehingga memberikan efek jera. Penuntutan terhadap peristiwa tawuran (perkelahian beramai-ramai) yang mengganggu ketertiban umum /meresahkan masyarakat, baik yang mengakibatkan terjadinya korban luka, luka berat, mati, atau kerusakan barang maupun yang tidak mengakibatkan korban, lebih tepat dikenakan Pasal 170 KUHP.
Jika tawuran menimbulkan korban luka berat atau mati barulah dapat dituntut berdasarkan Pasal 358 KUHP. Peristiwa tawuran pada umumnya melibatkan cukup banyak orang sehingga akan selalu dikaitkan dengan ketentuan tentang penyertaan melakukan tindak pidana.
“Untuk menimbulkan efek preventif dan edukatif para pelajar (SMP/SMA) perlu diperkenalkan dengan sistem pembinaan para narapidana kasus tawuran di Lembaga Pemasyarakatan (LP),” tutup Sandi. (ddk)